PT SURA merupakan perusahaan yang bergerak di bidang peternakan unggas (breeding farm) dengan aktivitas usaha meliputi pemeliharaan indukan, produksi anak ayam usia sehari (DOC), serta penetasan telur bibit (hatching eggs). Dalam perkara ini, PT SURA mengajukan banding atas koreksi DJP melalui SKPKB PPh Badan Tahun Pajak 2019. Pokok sengketa berfokus pada koreksi Biaya Usaha Lainnya berupa pembayaran Royalti kepada pihak afiliasi di Singapura, CPNBI Pte Ltd, atas pemanfaatan Hak Milik Intelektual (HMI) dalam bentuk know-how, dengan nilai koreksi sebesar Rp10.790.347.688.
DJP berpendapat bahwa royalti tersebut tidak memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (PKKU) karena eksistensi Harta Tak Berwujud berupa know-how tidak dapat dibuktikan. Menurut DJP, Hak Milik Intelektual (HMI) yang diklaim sebagai know-how bukan merupakan informasi rahasia, sebab informasi serupa dapat diakses publik melalui internet tanpa biaya.
PT SURA menolak koreksi tersebut. Pertama, eksistensi serta pemanfaatan know-how terbukti secara nyata melalui License Agreement. Dalam perjanjian lisensi disebutkan bahwa PT SURA memperoleh hak untuk menggunakan Hak Milik Intelektual dalam bentuk know-how, yakni teknologi dan pengetahuan yang dimiliki secara sah oleh pemberi lisensi, termasuk paten, desain produk, dan rahasia dagang yang dimiliki oleh CPNBI Pte Ltd. Know-how tersebut memungkinkan PT SURA untuk menjalankan fungsi pembibitan dan budidaya ayam usia sehari (DOC) serta produksi telur bibit (hatching eggs) secara efektif. Dengan demikian, know-how tidak hanya eksis secara legal, tetapi juga memberikan manfaat ekonomis langsung dalam kegiatan usaha PT SURA.
Kedua, PT SURA telah memberikan bukti dokumen know how berjudul “Prosedur Teknis Operasional Breeding Farm-Poultry Production” sehingga memang know-how tersebut bersifat rahasia dan bernilai ekonomis, yang tidak tersedia bebas untuk umum. Teknologi dan prosedur dalam operasional breeding farm tidak dapat disamakan dengan informasi publik di internet ataupun dengan peralatan peternakan konvensional.
Ketiga, berdasarkan laporan keuangan milik CPNBI Pte Ltd., diketahui bahwa perusahaan tersebut mencatat aset tidak berwujud (intangible asset) dalam neraca, berupa “Production and Process Know-How”. Hal ini menunjukkan bahwa CPNBI Pte Ltd. merupakan pemilik secara ekonomis atas know-how yang dilisensikan kepada PT SURA.
Keempat, PT SURA tidak memiliki divisi Research & Development (R&D) dan tidak melakukan aktivitas riset maupun pengembangan terkait proses produksi atau pembudidayaan ayam. Hal ini tercermin dari tidak adanya biaya yang berkaitan dengan fungsi R&D dalam laporan keuangan PT SURA. Dengan keterbatasan fungsi tersebut, PT SURA sangat bergantung pada know-how yang disediakan oleh CPNBI Pte Ltd.
Kelima, berdasarkan analisis dalam Transfer Pricing Documentation Lokal, pembebanan royalti tersebut telah dinilai secara wajar dan sejalan dengan prinsip arm’s length. PT SURA menegaskan bahwa PT SURA memperoleh hak untuk memanfaatkan Hak Milik Intelektual dalam rangka kegiatan produksi, pemasaran, distribusi, dan penjualan atas produk-produk yang dihasilkan dari penerapan Hak Milik Intelektual tersebut. Atas pemanfaatan hak tersebut, PT SURA berkewajiban membayar royalti sebesar 2% dari penjualan neto atas produk anak ayam usia sehari (Day Old Chick / D.O.C). PT SURA juga memberikan bukti-bukti pembayaran biaya royalti kepada pihak afiliasi CPNBI Pte., Ltd.
Setelah menelaah seluruh bukti yang disampaikan oleh DJP dan PT SURA, Majelis mempertimbangkan bahwa berdasarkan Pasal 17 ayat (7) PER-32/PJ/2011, pembayaran royalti dapat dinilai memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sepanjang (i) transaksi pemanfaatan Harta Tidak Berwujud benar-benar terjadi, (ii) terdapat manfaat ekonomis atau komersial, serta (iii) nilai transaksinya wajar.
Namun, Majelis justru menemukan bahwa dokumen know-how berjudul “Prosedur Teknis Operasional Breeding Farm – Poultry Production” yang dilampirkan oleh PT SURA pada saat persidangan mencantumkan frasa “PT CPI Tbk, Poultry Production, 2023” pada sampul depannya. Hal ini diperkuat oleh Audit Report Tahun 2019 PT SURA yang menunjukkan bahwa PT CPI Tbk merupakan pemegang saham langsung PT SURA. Dengan demikian, hal ini membuat dokumen tersebut gagal membuktikan adanya know-how yang diberikan oleh CPNBI Pte Ltd Singapura kepada PT SURA.
Lebih lanjut, dari TP Doc. Lokal diketahui bahwa PT SURA memperoleh seluruh sarana produksi peternakan dari pihak afiliasi, berupa DOC (anak ayam usia sehari), pakan ternak, obat-obatan, serta peralatan peternakan. Menurut Majelis, dengan diperolehnya sarana produksi tersebut dari pihak afiliasi, PT SURA dianggap tidak memerlukan informasi rahasia terkait bagaimana membangun atau menciptakan sarana produksi sebagaimana diklaim sebagai know-how.
Dengan seluruh pertimbangan tersebut, Majelis menyatakan bahwa PT SURA tidak berhasil membuktikan terjadinya transaksi pemanfaatan Harta Tidak Berwujud berupa know-how sesuai ketentuan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha. Oleh karena itu, banding yang diajukan PT SURA ditolak dan koreksi DJP dipertahankan.
Kasus ini menegaskan bahwa transaksi royalti antarpihak afiliasi harus memiliki bukti kuat atas eksistensi intangible, nilai manfaat ekonomis yang nyata, dan ketertelusuran kepemilikan hak dari pihak yang memberikan lisensi. Dokumentasi transfer pricing saja tidak cukup menjamin kepastian hukum tanpa adanya substansi dan pembuktian kepemilikan yang kuat atas Harta Tak Berwujud. Jika perusahaan Anda memiliki transaksi afiliasi yang melibatkan royalti atau Harta Tak Berwujud, pastikan dokumentasi Anda solid dan sejalan dengan praktik bisnis sesungguhnya.
Analisa Komprehensif dan Putusan lengkap atas Sengketa Ini Tersedia Disini